Kisah Gua Umang
Sebongkah batu besar berdiri kokoh di atas
sebidang tanah. Ada yang istimewa dari batu ini, ada pintu dan ruangan di
dalamnya. Masyarakat setempat meyakininya sebagai rumah Umang, orang Bunian di
Tanah Karo. Dahulu kala, terdapatlah sebuah kampung kecil di salah satu daerah
di Tanah Karo. Kampung Uruk Rambuten, begitu masyarakat setempat menyebutnya.
Hanya beberapa keluarga saja yang tinggal di sana. Rumah-rumah mereka
mengelilingi sebuah pohon beringin besar. Kampung tersebut memang perkampungan
kecil yang hanya dihuni marga Ketaren.
Alkisah, hiduplah seorang peladang di kampung tersebut. Dia biasa dipanggil Opung (kakek) Ketaren. Sebagai seorang peladang, Opung mau membuka hutan yang masih berada tidak jauh dari kawasan perkampungan untuk dijadikan lahan bercocok tanam.
Dalam perjalanan
menuju lokasi tersebut, Opung bertemu dengan sesosok mahkluk bertubuh kecil
dengan kakinya terbalik. Tumitnya menghadap ke depan dan jari kakinya ke
belakang. Orang-orang menyebutnya Umang.
“Mau kemana?”
Umang bertanya pada Opung. Opung menjelaskan bahwa dia mau membuka hutan untuk
berladang padi. Umang pun menawarkan bantuan kepada Opung, dengan syarat Opung
tidak boleh membawa perempuan dan anak kecil ke ladangnya. Opung
menyanggupinya, walaupun dia sendiri punya seorang istri yang baru saja
melahirkan.
Akhir kata, Umang
dan kawan-kawannya membantu Opung membuka hutan. Dalam satu hari, lahan seluas
tiga hektar selesai dibersihkan dan siap untuk ditanam. Sebelum senja,
Opung kembali ke rumahnya. Di rumah, dia mengatakan kepada istrinya, bahwa
lahan untuk ladang sudah selesai dibuka, dan besok dia akan mulai menanam padi.
Dia juga meminta istrinya untuk menyiapkan benih padi yang akan ditanam besok.
Sang istri pun
heran, bagaimana bisa lahan seluas tiga hektar dapat diselesaikan suaminya
dalam waktu hanya satu hari. Dengan hati bertanya-tanya, dia tetap menyiapkan
benih padi yang akan ditanam.
Keesokan harinya,
Opung sudah berada kembali di ladangnya dengan membawa benih padi yang akan
ditanam. Namun tak disangka, Umang marah padanya karena dia telah mengingkari
janji. Opung sama sekali tidak mengerti kenapa Umang bisa menuduhnya seperti
itu. Padahal dia tidak pernah membawa perempuan atau anak kecil ke
ladangnya. Tiba-tiba saja, istri dan anak Opung sudah berada di
belakangnya. Ternyata, istri Opung diam-diam mengikutinya karena rasa penasaran
yang tak tertahankan. Perjanjian Opung dengan Umang pun batal. Semuanya berubah
menjadi hutan kembali seperti sedia kala. Mendapati itu, Opung marah besar. Namun
apa daya, nasi sudah jadi bubur.
Besoknya, Opung
kembali membuka hutan tersebut untuk dijadikan ladang padi. Selama berhari-hari
akhirnya Opung pun berhasil membersihkannya. Ketika itulah ditemukan batu besar
yang disebut Gua Kemang. Hingga saat ini, batu besar tersebut diyakini oleh
masyarakat setempat sebagai rumah Umang yang pernah membantu Opung.
Cerita Mistik Gua Kemang
Batu Kemang Si
bolangit Juni. 1906.
|
Umang” merupakan bahasa Karo yang berarti jin atau roh. Seperti
diceritakan oleh Tolen Ketaren, fisik dari Umang seperti manusia, tapi lebih
kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap ke
depan sedangkan jari-jari kakinya ke arah belakang. “Itu kata orang yang sudah
pernah melihatnya. Seperti orang bunian,” jelas Tolen setelah menceritakan
kisah asal muasal Gua Kemang yang dipercayai masyarakat setempat. Sekitar tahun
1970-an, menurut Tolen, masyarakat masih sering bertemu dengan Umang. Bahkan
ada juga masyarakat yang dibawa ke hutan oleh Umang. “Tapi kalau balik, ada
kurang-kurangnya,” ujar pria yang pernah menjadi Kepala Desa Sembahe pada
2001-2007 ini. Dulunya, Gua Kemang yang diyakini sebagai rumah Umang ini
dikenal juga dengan nama Gua Umang. Karena mistis, banyak orang yang bertapa
dan membawa sesajen ke sana. Bahkan dulu, setiap orang yang lewat di daerah
Sembahe, selalu singgah dan menyembah batu ini. “Makanya dibilang Sembahe. Asal
kata dari ‘semba e’, sembah ini. Sembahe dulu di kampung itu,” jelas Tolen.
Dulu
gua batu ini juga bisa tiba-tiba menghilang, raib entah kemana. Menurut
keyakinan masyarakat di sana, hal itu berarti ada Umang yang menempatinya.
“Kadang nampak batunya, kadang tidak. Kata orang, kalau umangnya sudah pergi,
baru nampak batunya,” ujar Tolen. Seperti dikisahkan Tolen lagi, menurut cerita
dari orang-orang tua di sana, terdapat jalan bawah tanah dari Gua Kemang menuju
sebuah batu besar lainnya. “Secara magis, ada jalan bawah tanah dari gua batu
itu ke Batu Penjemuren, tempat jemuran padi si Umang,” cerita bapak berusia 46
tahun tersebut. Batu Penjemuren sendiri merupakan batu besar dengan bagian
atasnya yang datar. Batu ini berada di pinggir Sungai Sembahe, sekitar satu
kilometer dari Gua Kemang. Namun jalan bawah tanah tersebut tidak pernah
ditemui oleh Tolen.
Gua
batu yang ditemukan oleh masyarakat setempat pada zaman penjajahan Belanda ini,
pernah hendak diangkat untuk dipindahkan ke Belanda. Tetapi tidak bisa
dipindahkan. Tolen sendiri pun tidak tahu kenapa gua batu ini tidak bisa
diangkat. Mungkin ada kaitannya juga dengan kekuatan magisnya. Sebagian
masyarakat meyakini bahwa hingga saat ini kadang-kadang masih ada yang menghuni
gua batu tersebut. “Konon, sekarang masih ada penghuninya,” kata Hendri, pemuda
setempat yang menemani saya menuju lokasi Gua Kemang. Kampung Uruk Rambuten yang
dianggap sebagai awal Desa Sembahe, sampai saat ini masih dikenali. Namun tak
ada lagi penduduk yang menghuni kampung tersebut. Kampung Uruk Rambuten berada
di dekat lokasi jatuhnya pesawat Garuda Indonesia pada 26 September 1997 lalu.
Menurut Tolen, ada kemungkinan pesawat tersebut jatuh karena tersangkut pohon
beringin besar yang tumbuh di tengah-tengah kampung Uruk Rambuten.
Situs Budaya yang Terbengkalai
Gua Kemang berlokasi di Kampung
Durintani, Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang. Tepatnya
berada di lahan perkebunan seorang penduduk yang juga bermarga Ketaren. Untuk
menuju lokasi gua batu ini, kita dapat berjalan kaki sejauh satu kilometer dari
simpang Durintani, arah kanan dari Medan. Tidak susah menemukan simpang Durintani.
Ada sebuah plang dari semen yang terdapat di simpang tersebut. “Situs Gua
Kemang (Gua Batu), Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Sumatera Utara, Proyek Pembinaan Kebudayaan APBD Tingkat I Sumatera Utara,”
itulah yang tertulis di sana. Ternyata gua batu yang diyakini oleh para
arkeolog sebagai peninggalan manusia pra sejarah ini sudah menjadi salah satu
situs budaya milik pemerintah.
Jalan aspal mengawali perjalanan menuju gua batu. Namun separuh jalan setelahnya kita terpaksa melewati jalanan berbatu yang sedikit menanjak. Cukup menguras keringat juga. Apalagi mengingat kondisi tubuh saya yang sudah lama tak pernah berolahraga. Terasa cukup lama juga kami berjalan kaki, mungkin lebih setengah jam. Akhirnya pintu masuk menuju gua batu ini sudah berada di depan mata. Namun sebuah kondisi yang cukup mengiris hati akhirnya menyambut kami. Pagar dan tembok yang menjaga situs budaya ini sudah berlumut. Begitu pun tangga yang akan mengantar kami hingga ke atas, di mana gua batu berada. Ukiran yang tertulis di tembok pagar sudah hampir tak terbaca akibat lumut yang begitu tebal. “Pernah dibangun parkir dan jalannya oleh Kanwil Depdikbud tahun 75-an. Namun tidak berkembang,” ujar Tolen seakan-akan mengerti pertanyaan yang muncul di benak kami.
Kami pun melanjutkan sisa-sisa perjalanan, menempuh puluhan tangga hingga sampai ke lokasi Gua Kemang yang berada di bagian atas kebun. Kondisi gua ternyata tak jauh beda dengan apa yang kami jumpai sebelumnya. Lumut tebal menyelimuti dinding luarnya. Dua relief serupa manusia yang diyakini sebagai bentuk sosok Umang tersebut tak lagi terlihat jelas.“Dulu batu ini besar. Ada batu-batu lain juga di sekitar gua. Batu-batunya seperti meja, kursi, tapi dirusak Belanda. Ada yang dibuang, ada yang dimasuki ke kantong plastik. Tapi tidak tau yang mana yang diambil,” cerita Tolen menjelaskan lagi tentang Gua Kemang yang berada di bawah sebuah pohon rambe, sejenis pohon langsat.
Di
bagian depan gua, ada lobang kecil berukuran sekitar 50 x 50 cm dengan pahatan berbentuk
segitiga di bagian atasnya. Semacam pintu bagi rumah Umang. Di dalam gua hanya
terdapat satu chamber berukuran sekitar 3 x 2 meter dengan tinggi sekitar satu
meter. Bagian atas dalam gua mirip dengan atap rumah biasa, mengerucut ke
atasnya.
Di sisi kanan dan kiri dalam gua, ada dua undakan, seperti tempat tidur. Sedangkan di sebelah kanan ada ruangan kecil memanjang. “Mungkin dapurnya Umang,” ujar Hendri. Atau mungkin tempat tidurnya bayi Umang?
Selain
itu, terdapat juga ukiran-ukiran serupa tulisan Arab di dalam gua di bagian
atas pintu. Menurut Tolen, mungkin saja itu tulisan Karo, karena jika dilihat
dari bentuknya, tulisan Karo hampir mirip dengan bentuk tulisan Arab. Namun
tidak jelas juga kepastiannya karena di beberapa bagian dinding dalam gua juga
banyak coretan-coretan manusia yang iseng mengukir namanya di sana. Rusaklah
sudah!
Namun yang paling perlu diperhatikan di sini adalah kondisi Gua Kemang. Cukup memprihatinkan, mengingat gua ini pernah dijadikan sebagai salah satu situs budaya di Sumatera Utara. Jika pemerintah sekarang tak mengindahkan ini, bisa saja Gua Kemang benar-benar akan hilang untuk selamanya.
Jalan aspal mengawali perjalanan menuju gua batu. Namun separuh jalan setelahnya kita terpaksa melewati jalanan berbatu yang sedikit menanjak. Cukup menguras keringat juga. Apalagi mengingat kondisi tubuh saya yang sudah lama tak pernah berolahraga. Terasa cukup lama juga kami berjalan kaki, mungkin lebih setengah jam. Akhirnya pintu masuk menuju gua batu ini sudah berada di depan mata. Namun sebuah kondisi yang cukup mengiris hati akhirnya menyambut kami. Pagar dan tembok yang menjaga situs budaya ini sudah berlumut. Begitu pun tangga yang akan mengantar kami hingga ke atas, di mana gua batu berada. Ukiran yang tertulis di tembok pagar sudah hampir tak terbaca akibat lumut yang begitu tebal. “Pernah dibangun parkir dan jalannya oleh Kanwil Depdikbud tahun 75-an. Namun tidak berkembang,” ujar Tolen seakan-akan mengerti pertanyaan yang muncul di benak kami.
Kami pun melanjutkan sisa-sisa perjalanan, menempuh puluhan tangga hingga sampai ke lokasi Gua Kemang yang berada di bagian atas kebun. Kondisi gua ternyata tak jauh beda dengan apa yang kami jumpai sebelumnya. Lumut tebal menyelimuti dinding luarnya. Dua relief serupa manusia yang diyakini sebagai bentuk sosok Umang tersebut tak lagi terlihat jelas.“Dulu batu ini besar. Ada batu-batu lain juga di sekitar gua. Batu-batunya seperti meja, kursi, tapi dirusak Belanda. Ada yang dibuang, ada yang dimasuki ke kantong plastik. Tapi tidak tau yang mana yang diambil,” cerita Tolen menjelaskan lagi tentang Gua Kemang yang berada di bawah sebuah pohon rambe, sejenis pohon langsat.
Di sisi kanan dan kiri dalam gua, ada dua undakan, seperti tempat tidur. Sedangkan di sebelah kanan ada ruangan kecil memanjang. “Mungkin dapurnya Umang,” ujar Hendri. Atau mungkin tempat tidurnya bayi Umang?
Namun yang paling perlu diperhatikan di sini adalah kondisi Gua Kemang. Cukup memprihatinkan, mengingat gua ini pernah dijadikan sebagai salah satu situs budaya di Sumatera Utara. Jika pemerintah sekarang tak mengindahkan ini, bisa saja Gua Kemang benar-benar akan hilang untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar