Kenapa (harus) Karo Bukan Batak?
Identitas Karo dalam kaitannya
dengan Batak, kembali digugat. Gugatan ini dalam sebuah
diskusi bersama Antroplog Karo, Juara Ginting di Rumah Buku, Padang Bulan,
beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan itu, Juara mengajak
para peserta diskusi yang notabene, Mahasiswa Karo USU,
mempertanyakan kembali latarbelakang kata Batak yang lazim disematkan pada
sukunya. "Kenapa mesti ada embel-embel Batak, jika tak ada kaitan antara
Batak dengan Karo?" Tanya Juara. Sudah sejak lama prokontra itu muncul ke
permukaan, terutama di masyarakat Karo. Menurut penulis, mulanya polemik ini
muncul sebagai imbas dari persepsi keliru, dimana ketika menyebut Batak, masyarakat seolah-olah terbayang deskripsi
akan sub etnis Batak tertentu (Toba). Mungkin tak menjadi soal, jika Batak
Karo, Batak Toba, Batak Simalungun serta Batak lain duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi.
Apa yang digugat Juara lebih dari
itu. Secara ekstrem, dosen USU ini sama sekali menentang penggunaan kata Batak
dari Karo. "Bilapun posisi masing-masing kelompok masyarakat Sumatera
Utara ini normal, tetap saya tak setuju jika Karo dianggap Batak. Karo punya
standar adat-istiadat yang mandiri. Kalaupun ada kemiripan jangan langsung
diklaim, harus dilihat dari banyak sisi."
Penggunaan kata "Batak"
terutama di masa kolonial Belanda, digunakan untuk mendiskreditkan sekelompok
masyarakat yang dalam buku "Riwayat Poelaoe Soematra" karangan Dja
Endar Moeda (1903); "Adapoen bangsa jang mendoedoeki residetie Tapanoeli
itoe, ialah bangsa Batak namanya. Adapoen kata "Batak" itoe pengertiannja; orang pandai
berkuda. Masih ada kata "Batak" jang terpakai, jaitoe
"mamatak", jang ertinja menaiki koeda. Kemoedian hari orang
perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki kepada bangsa itoe�"
Dari versi ini terlihat, penggunaan
kata "Batak" yang kemudian dibubuhi nuansa negatif itu, berlaku bagi
setiap kelompok masyarakat yang secara administratif bermukim di persekitaran
Tapanuli (Silindung-Humbahas-Toba-Samosir) yang melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Kemudian jika, batas geografis itu menjadi faktor, pertanyaannya,
mengapa pula "Perang Sunggal" disebut Belanda sebagai "Batak
Oorlog" (Perang Batak)?
Beberapa Pengertian Budaya
Beberapa perkataan "Batak"
nyaris ditemui di semua suku di Sumut. Di Pakpak Dairi berbunyi: "Mmas
Batakn mahan gmgmmn laho mahan tabungn, biat ni kata mahan sungkunn mndahi
kalak sipantas singg ddang radumn". Maksudnya adalah mmas batak dijadikan
warisan (homitan) dibuat menjadi tepak sirih, sudah sepantasnya tempat untuk
bertanya itu adalah orang yang mengetahui. Mmas Batakn diartikan sebagai serbuk
emas dulangan menjadi emas murni atau logam mulia.
Di Karo dikenal upacara
mbatak-mbataken; yakni mengembalikan roh penjaga (jinujung) kepada seseorang.
Seorang Karo yang hendak mendirikan rumah, juga melakukan "Ibatakkenmin
adah nda", yakni ritual meratakan tanah, agar rumah yang akan dibangun
diberkahi.
Pada Simalungun, terdapat perkataan
"Batak" antara lain "Patinggi ma batohon i, ase dear
sabahtaon". Artinya, tinggikanlah benteng agar bagus sawah kita ini.
Di luar itu, di masyarakat Pilipina
konon ada satu pulau yang bernama "Batac" (huruf �c� di belakang).
Konon pengertian kata
"Batac" di sana juga mencerminkan makna sesuatu yang kokoh, kuat,
tegar, berani, perkasa? Sejumlah kata yang sama ucap dan pengertiannya, juga
ditemukan di pulau itu, seperti; "mangan" (makan), "inong"
(inang), "ulu" (kepala), "sangsang" (daging babi cincang
dimasak pakai darahnya).
"Akuisisi" Gereja dan PKI
Menurut Lembaga Penelitian dan Studi
GBKP
seperti dikutip penulis dari www. Permatabethesda, perkabaran Injil di Karo,
dibagi atas dua kurun waktu. Pertama tahun 1890-1906 yang disebut waktu
Permulaan. Kurun waktu kedua disebut masa Penanaman dan Penggarapan
(1906-1940).
Bisa dikatakan, penginjilan di Karo,
tak disengaja. Awalnya merupakan strategi Belanda untuk memuluskan aksi
dagangnya di Karo. Waktu itu, keberadaan Belanda ditentang habis-habisan karena
mengambil tanah rakyat untuk ditanami tembakau.
Untuk meredamnya, Belanda melakukan
pendekatan agama, yakni pengabaran injil. Upaya itu berhasil. Lantas, Kepala
Administrasi Deli Mij, Mr. J.T. Cremer, mengadakan perjanjian dengan
Nederlandsche Zending Genoothchac (NZG), sebuah zending yang ada di Belanda
untuk mengirim tenaga-tenaga tambahan Pengabar Injil ke Deli.
Melihat dinamika itu, sejak 1939
upaya untuk memandirikan Karo mulai dirintis. Pada 1940, dikirimlah dua guru
injil pribumi, masing Palem Sitepu dan Thomas Sibero ke sekolah Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) di Sipaholon. Keduanya menyelesaikan studi pada
pertengahan sidang Sinode Pertama, yang menetapkan nama Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) di Sibolangit tanggal 23 Juli 1941.
Sebelumnya, Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) yang dirintis Nommensen (Jerman) sendiri, dianggap simbol
keberhasilan kerja misionaris di Tanah Batak, sekaligus merupakan Kristen
Lutheran yang pertama ada di Tanah Batak. Euforia kejayaan Jerman
mengkristenkan Batak yang sarat herois ini, kemudian diberlakukan bagi
kelompok-kelompok masyarakat Kristen lain, termasuk Karo. Bisa disebut,
masyarakat Kristen Karo yang �bentukan� Belanda, itu "diakuisisi" Jerman menjadi Batak.
Setelah fase itu, perkembangan GBKP,
menurut Juara, tak serta merta pesat. Banyak masyarakat Karo yang belum memilih
Kristen sebagai afiliasi keyakinannya. Di antaranya, masih menganut
ajaran-ajaran yang bercikal pada tradisi leluhur mereka. Kemudian meletuslah
pemberontakan PKI tahun 1965. Dalam rangka pembumihangusan PKI, pemerintah
menyusup ke daerah-daerah, terutama yang masyarakatnya belum menganut identitas
agama resmi versi pemerintah.
Kesan yang dihembuskan pemerintah waktu
itu, menyiratkan PKI identik dengan masyarakat yang belum mengenal agama dan
mesti dibantai. Stereotif itu memaksa kelompok masyarakat tradisi Karo harus
menganut salah satu agama. Karena kedekatan emosional, mereka kemudian memilih
GBKP sebagai identitasnya. Sejak itu, jemaat GBKP membludak, sehingga
berkembang mindset, setiap Karo yang Kristen adalah GBKP. GBKP sudah pasti
Batak.
Bagaimana pun penggalan-penggalan
kisah ini merupakan sekelumit sejarah yang mengiringi perjalanan Karo sebagai
Batak. Menurut saya, Batak hanyalah sebuah induk, predikat umum yang
menjelaskan Karo, Toba atau Simalungun yang mapan. Mestinya semangat identitas
masing-masing tak perlu ditanggapi secara "buta", sembari juga
perlahan-lahan menghapus hegemoni dan klaim-klaim yang cenderung membuat kita
primordial.
(Pernah Terbit di Harian Analisa)
Poker with real cash games - jtmhub.com
BalasHapusPoker with real cash games in virtual 화성 출장안마 reality - All 대구광역 출장샵 the best live tables and tables games in 대전광역 출장샵 the Poker with real cash games in virtual reality - 사천 출장마사지 All 순천 출장샵 the best live tables and tables games in